01 April 2008

Partai GAM dan Komitmen Damai

Oleh: Hadi Al Sumatrany

Aceh sudah damai. Keadaan Aceh sekarang sangat jauh berbeda dengan keadaan Aceh sebelum penandatangan MoU Helsinki pada 15 Agustus 2005 lalu. Ketika Aceh dalam konflik, desingan peluru, bau mayat dan kekerasan terhadap fisik menjadi menu harian yang tak pernah terlewati setiap harinya.

Namun Aceh hari penuh dengan wajah-wajah kegembiraan yang terlihat di warung kopi, dikantoran, dilapangan olahraga bahkan diberbagai sudut Gampong (Desa). Mantan GAM dan TNI/Polri sudah bisa bersama untuk minum kopi, berolahraga atau terlibat dalam kegiatan-kegiatan sosial lainnya. Ini menandakan tak ada lagi permusuhan atau pemisahan di Aceh.

Aceh sudah sangat lelah untuk bertengkar lagi. Air mata rakyat Aceh sudah banyak ditumpahkan untuk melewati masa-masa konflik dan menghadapi bencana gempa dan tsunami. Tetapi kelelahan itu tidak akan membuat rakyat Aceh untuk terus bersedih . Aceh sekarang sedang menikmati perdamaian dan punya harapan besar untuk bangkit dan maju bersama saudaranya Se-nusantara.

Jadi peresmian Partai GAM jangan dijadikan alasan untuk terus mencurigai Aceh. Di Aceh bukan hanya Partai GAM yang ada, tetapi Partai Lokal (Parlok) juga mulai dibentuk. Mereka akan bersaing dengan Partai Nasional (parnas) untuk merebut hati rakyat. Hati rakyat tidak bisa di rebut dengan janji-janji kosong. Karena rakyat sudah sangat cerdas untuk memilih pemimpinnya atau wakilnya.

Saat ini dan kedepan yang perlu dipersoalkan bukan partai GAM. tetapi bagaimana membangun komunikasi dengan seluruh rakyat dari Sabang sampai Mareuke untuk bersatu membangun bangsa ini. Bukan justru mencurigai salah satu pihak dengan argumentasi yang sudah usang.

Negara ini tidak dapat dipertahankan dengan mengandalkan kekuatan senjata. Tetapi melalui nilai-nilai persaudaraan dan keadilan antara pusat dengan daerah maka persatuan dan kesatuan menjadi subur di negeri ini. Karena kesejahteraan dan kepedulian terhadap rakyat menjadi rantai keutuhan negara ini.

Anggapan akan lahirnya separatisme di Aceh karena pendirian partai GAM merupakan kontraproduktif dengan keadaan Aceh saat ini. Perlu diketahui bahwa nama GAM tak dapat di hapus karena ia adalah bagian dari sejarah. Kita hanya mampu membendung keinginan dari GAM untuk merdeka. Dan hari ini ide kemerdekaan sudah selesai di Aceh.

Tudingan Gubernur Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas) Muladi SH, bahwa pendirian Partai GAM punya tujuan memerdekakan Aceh melalui referendum setelah menguasai parlemen merupakan pemikiran politik yang negatif atau kalau boleh dibilang sangat provokatif. Muladi SH terlalu jauh mendramatisir sesuatu yang belum pasti. Sebagai seorang akademisi dan elite politik yang sudah berpengalaman seperti Muladi SH, seharusnya tidak gegabah dalam mengeluarkan sebuah statemen tanpa melalui sebuah kajian yang dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.

Topik pembicaraan dan keinginan GAM telah beralih dari kemerdekaan kepada pembangunan Aceh. Dan Aceh bagian dari Indonesia berdasarkan kesepakatn MoU Helsinki. Sedangkan pendirian Partai GAM sama saja dengan pendirian Parlok lainnya seperti amanat MoU Helsinki. Jangan ribut soal nama, asalkan tujuannya jelas untuk pembangunan Aceh dalam NKRI.

Budaya Lama

Pandangan curiga dan khawaitr terhadap Aceh sudah lama terjadi. Aceh yang jauh dari pusat nampaknya seperti didepan mata. Setiap sikap dan keputusan rakyat Aceh yang berbeda dengan Jakarta langsung ditanggapi dengan kecurigaan. Kecurigaan terhadap Aceh tidak pantas dilakukan ditengah tumbuhnya sikap saling menghargai dan menjaga agar perdamaian Aceh tetap utuh.

Budaya lama yang sering mencurigai Aceh perlu diganti dengan budaya saling menasehati dan memahami setiap timbulnya sikap perbedaan. Karena tindakan keras terhadap Aceh justru melahirkan sikap ketidakpercayaan kepada Pusat. Seharusnya sikap kepercayaan terhadap Pusat perlu ditumbuhkan lagi melalui kebijakan yang memihak rakyat.

Sikap Jakarta yang sering menonjolkan perintah perlu diganti dengan budaya musyawarah dalam mengambil setiap keputusan tentang Daerah. Tidak dengan serta merta mengambil sikap tegas dalam hal-hal yang dapat diselesaikan melalui jalan musyawarah. Karena apa yang diperintahkan Pusat tidak selamanya sama dan sesuai dengan keinginan daerah.

Sikap saling memahami antara Pusat dengan Daerah perlu ditumbuhkan. Karena untuk mempertahankan negara sebesar ini perlu adanya sikap saling menghargai. Sikap saling menghargai dan membantu antar sesama merupakan cerminan keutuhan negara sebesar dan seluas ini.

Komitmen Damai

Keadaan Aceh saat ini tidak terlepas dari adanya komitmen damai antara Pihak GAM dengan Pemerintah Indonesia. Ambisi keras GAM untuk memperjuangkan kemerdekaan bagi Aceh sudah berakhir. Komitmen ini menjadi terang tatkala pihak GAM menyerahkan senjatanya untuk dimusnahkan.

Keputusan GAM untuk menyerahkan senjatanya seperti tertuang dalam MoU merupakan sesuatu yang tidak lazim terjadi bagi sebuah pergerakan kemerdekaan. Tetapi kekhawatiran berbagai pihak, terbantahkan ketika GAM menyerahkan semua senjatanya seperti yang telah disepakati.

Keputusan GAM menerima NKRI, menyerahkan senjata dan melakukan demobilisasi militernya merupakan komitmen damai yang perlu dihargai. Keputusan ini menunjukkan bahwa GAM tidak lagi menuntut kemerdekaan. Mantan GAM mulai menerima NKRI. Hal seperti ini seharusnya mendapat pujian bukan justru mencurigai hanya karena menggunakan nama dan lambang GAM pada Partainya.

Penggunaan nama dan lambang GAM untuk Parloknya, tidak dapat dijadikan sebagai cara pandang bahwa GAM akan memerdekakan Aceh. Tetapi perlu dilihat sebagai bentuk partisipasi mantan GAM dalam meramaikan pesta demokrasi di Aceh.

Kedepan yang perlu dilihat bukan lagi nama GAM, apalagi pihak GAM menggunakan nama GAM bukan sebuah singkatan. Tetapi yang perlu diperhatikan saat ini adalah komitmen damai yang telah ditunjukkan oleh mantan GAM dan berbagai pihak di Aceh.

Komitmen GAM untuk menerima NKRI, terbukti karena mereka tidak lagi menggunakan simbol-simbol yang dilarang dalam MoU. Pihak GAM dari berbagai wilayah di Aceh pun tidak lagi berbicara kemerdekaan tetapi mereka sedang fokus pada perdamaian dan pembangunan Aceh pasca konflik dan tsunami. Komitmen damai di Aceh merupakan dambaan semua pihak. Karena suasana perdamaian begitu indah untuk di rasakan.

Semua pihak telah berkomitmen untuk perdamaian Aceh. Suasana damai yang sudah dirasakan rakyat jangan sampai terganggu hanya gara-gara persoalan lambang dan nama Partai GAM. Saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk saling curiga tetapi marilah sama-sama membangun Aceh dalam NKRI.

Jangan sampai Aceh dan Jakarta bermusuhan hanya gara-gara salah persepsi. Jika suatu persoalan bisa diselesaikan dengan kompromi, untuk apa harus berkelahi. Perdamaian lebih berharga bagi Aceh dan Indonesia.[]

Tidak ada komentar:

Pemain Persiraja

Pemain Persiraja
Playmaker Persiraja, Patrick Sofian Ghigani