03 April 2008

Perdamaian Positif dan Perdamaian Negatif

Oleh: Hadi Al Sumatrany

Dua tahun usia perdamaian Aceh bukanlah waktu yang lama tetapi bukan juga waktu yang singkat. Namun ketika proses menjaga perdamaian belum terpenuhi maka langkah perdamaian sejati pun semakin lambat. Demikian juga tatkala gesekan-gesekan ala konflik masih terjadi, usia perdamaian pun semakin di uji kelanjutannya.

Pertanyaannya, sanggupkah kita menjaga perdamaian ini sampai turunan kita menikmatinya nanti? Siapa yang harus bertanggung jawab untuk menjaga perdamaian ini?. Cukup pihak GAM dengan Pemerintah Indonesia saja?.

Jelas banyak jalan menuju Roma. Namun tidak banyak jalan menuju perdamaian yang utuh. Perdamaian yang utuh perlu dibuat jalan sendiri, yaitu jalan bebas hambatan. Namun jalan khusus ini pun masih memerlukan kesadaran diri dari masing-masing pengguna jalan termasuk tidak melanggar aturan lalulintas agar terhindar dari kecelakaan.

Dari pengamatan dilapangan terlihat bahwa jalan perdamaian mengalami kemajuan dan pujian. Ini terlihat mulai menurunnya tingkat kecelakaan-kecelakaan berskala besar yang mengarah pada hambatan jalannya perdamaian. Walaupun ada sejumlah kecelakaan kecil, itu dapat dimengerti sebagai ujian dari sebuah tujuan perdamaian sejati yang sedang di jalani bersama.

Namun demikian, implementasi MoU Helsinki menjadi kebutuhan yang harus dilaksanakan. Karena MoU Helsinki menjadi roh perdamaian Aceh yang tidak boleh diabaikan oleh semua pihak. Terutama pihak GAM dan Pemerintah Indonesia.

Memaknai Perdamaian

Meminjam istilah Jhon Galtung, ada dua makna perdamaian yang harus dijadikan referensi, yaitu antara perdamaian negatif dan perdamaian positif. Perdamaian negatif adalah situasi di mana tidak ada perang. Perdamaian positif adalah situasi ketika tidak ada kekerasan, (baik kekerasan langsung, kekerasan struktural, maupun kekerasan kultural).

Ia menemukan bahwa jumlah orang yang mati setelah Perang Dunia II lebih banyak daripada yang mati saat Perang Dunia II. Dengan kata lain, ia menemukan bahwa lebih banyak orang mati pada saat damai daripada ketika perang. Mengapa demikian?

Di masa perang, orang mati karena peluru. Di masa damai, orang mati karena tidak bisa makan, kedinginan (tidak punya tempat tinggal ketika musim salju), sakit (padahal penyakitnya ringan dan bisa diobati). Orang mati karena miskin, tidak punya akses pada pelayanan kesehatan, pendidikan, mata pencaharian yang layak, sistem politik, dan lain-lain.

Perang bisa disebut sebagai kekerasan langsung, sedangkan kemiskinan, pemiskinan, peminggiran sosial, dan lain-lain bisa dilabel sebagai kekerasan struktural.

Perdamaian negatif adalah ketiadaan perang, seperti yang ada di Aceh. Perdamaian positif bukan sekedar tidak ada perang, tapi juga tidak ada ketidakadilan sosial. Karenanya, yang layak disebut aktivis perdamaian bukan sekedar mereka yang bekerja di wilayah perang guna mendamaikan yang bertikai. Yang bekerja memperjuangkan keadilan sosial juga layak disebut aktivis perdamaian, yaitu perdamaian dalam arti luas: perdamaian positif.

Teori Ilmuwan dari Norwegia ini perlu dijadikan sebagai cerminan untuk mewujudkan perdamaian sejati di Aceh. Walaupun yang meninggal ketika konflik punya data yang di dokumentasikan ketimbang yang meninggal setelah konflik.

Namun persoalan yang dihadapi setelah konflik perlu menjadi catatan pihak Pemerintah dan Badan Reintegrasi Aceh (BRA) untuk di selesaikan dengan segera. Terutama untuk memberantas kemiskinan dan pemiskinan yang sering menjadi bom waktu meletusnya konflik baru di kemudian hari.

Pemberian modal usaha merupakan langkah tepat untuk menghilangkan bom waktu yang terakit dari hari ke hari. Karena orang yang membutuhkan biaya hidup dan para pengangguran sangat cepat menerima ajakan untuk melakukan perlawanan dan kekerasan. Apalagi kalau haknya dirampas, perlawanan seperti punya keabsahan. Sehingga pemberian modal menjadi langkah yang tepat untuk menyelesaikannya.

Beasiswa Pendidikan

Penulis tertarik dengan pembagian dana reintegrasi yang dilakukan oleh salah satu Sagoe (Wilayah GAM setingkat Kecamatan) di Pidie. Karena jatah dana yang sedikit dengan jumlah penerima yang banyak, ditambah lagi dengan beberapa janda kombatan GAM yang mempunyai beberapa orang anak dalam status pendidikan. Membuat mantan kombatan GAM yang masih lajang memotong jatah mereka sendiri untuk membiayai pendidikan anak para janda kombatan.

Ini menjadi langkah yang patut dipuji sekaligus perlu segera disikapi oleh Pemerintah dan BRA. Tanpa perlu menunggu para mantan kombatan lajang memotong jatahnya sendiri. Kewajiban Pemerintah dan BRA untuk menyediakan beasiswa kepada anak korban konflik dan anak orang miskin dipedalaman perlu dialokasikan dananya.

Mengingat mereka menjadi pihak yang sangat menderita ketika konflik. Jangankan memikirkan pendidikan anaknya sampai Perguruan Tinggi tetapi memikirkan kebutuhan sehari hari saja kewalahan. Kita tidak bisa menyalahkan anak-anak ini bila kelak menjadi pemegang AK 47 di kemudian hari. Karena pendidikan mereka perlu diperhatikan dan beasiswa pendidikan perlu disediakan.

Namun demikian tanggung jawab menjaga perdamaian ini bukan hanya tugas Pemerintah dan pihak GAM saja tetapi ini menjadi tanggungjawab kita semua. Sehingga tumbuh kesadaran dari lubuk hati yang dalam untuk menjaga perdamaian Aceh tetap utuh.

Penutup

Yang jelas perang antara pihak GAM dengan Pemerintah Indonesia sudah berhenti. Namun bukan berarti perang di Aceh sudah selesai. Karena masih banyak peperangan yang harus kita hadapi dan diakhirin seperti teori Jhon Galtung.

Beberapa perang besar sedang menanti kita. Kita perlu mempersiapkan alat perang untuk menghadapi dan mengakhirinya. Perang melawan kemiskinan, perang melawan buta huruf, perang melawan orang-orang korup dan mafia peradilan dan sejumlah perang lain sudah lama menanti kita. Akankah kita dikalahkan atau kita yang mengalahkannya. Inilah peperangan kedepan yang perlu dihadapai bersama.

Jika kita ingin bangkit dan berubah dari keadaan ini. Maka menyiapkan alat perang adalah langkah yang tepat untuk menjadi pemenang. Tetapi bila pasrah atau tidak ingin berubah seperti saat ini, biarkan kemiskinan, pengangguran, buta huruf dan orang-orang korup yang mengalahkan kita.

Namun konsekuensinya, kita akan tertinggal dan terbelakang di ujung Sumatera. Sedangkan bangsa-bangsa lain diseberang lautan sedangkan menikmati kemenangannya dari perang yang mereka kobarkan. Semoga momen dua tahun perdamaian menjadi semangat untuk merubah Aceh seperti kejayaannya tempo dulu.[]

Tidak ada komentar:

Pemain Persiraja

Pemain Persiraja
Playmaker Persiraja, Patrick Sofian Ghigani