03 April 2008

Nasib Aceh dan Nasib BRR

Oleh: Hadi Al Sumatrany

Judul tulisan ini, sedikit bernada sindiran. Tetapi bukan untuk menggugat keberadaan orang luar yang sedang mengais rezeki di Aceh. Tulisan ini lebih kepada keinginan penulis untuk mengkritik kualitas pengetahuan kita sendiri yang tidak mampu menjawab peluang kerja menjadi lahan untuk memperbaiki kehidupan kita di negeri sendiri.

Saat ini bukan waktu yang tepat untuk menyalahkan atau menggugat orang luar yang memegang jabatan strategis baik di BRR maupun LSM/NGO Nasional maupun Internasional. Tapi bagaimana kita bercermin untuk melihat potensi kita yang kadang kalah saing dengan kemampuan orang luar.

Padahal orang Aceh punya kemampuan yang lebih, tetapi system masa lalu yang membuat kemampuan itu terpinggirkan. Artinya orang Aceh seperti tamu di negeri sendiri sedangkan orang luar, menjadi tuan di negeri ini. Kedepan orang Aceh perlu lebih banyak memimpin berbagai sector strategis yang ada di negerinya sendiri. Apalagi pasca perdamaian, orang Aceh punya kebebasan untuk mengelola rumah tangganya sendiri seperti yang di amanatkan dalam UU No 11 Tahun 2006.

Melalui tulisan ini, penulis mencoba untuk memberi sedikit masukan. Walaupun tulisan ini tidak terlalu sempurna untuk menjawab semua persoalan di Aceh. Tetapi setidaknya ada keinginan kita semua untuk mencari jawaban melalui kesadaran diri, agar kejayaan Aceh dapat kembali seperti semula.

Ada baiknya kita mencoba mengkritik potensi yang kita miliki. Dengan tujuan menyadarkan diri agar tidak terlena kepada khayalan masa depan yang menjanjikan. Tetapi kita melalaikan diri sendiri. Karena dengan mengkritik diri sendiri, maka kelemahan yang ada dalam diri masing-masing dapat di perbaiki mulai saat ini. Watak manusia masa kini, ia pantang mengkritik dan menyalahkan diri sendiri.

Aceh pasca tsunami bukan saja mendatangkan uang yang banyak, tetapi juga menyediakan lapangan kerja dengan gaji yang menggiurkan. Ketika iklan lapangan kerja di muat di media cetak, mulai dari koran-koran di Aceh sampai koran-koran di Jakarta. Ternyata orang-orang kita, sudah kalah sebelum bertanding dengan surat lamaran ke BRR dan NGO lain baik nasional maupun Internasional. Sampai pada kualifikasi minimal SI, mampu berbahasa Inggris secara lisan dan tulisan dan menguasai Microsoft Office. Maka orang-orang kita akan garuk-garuk kepala alias pusing tujuh keliling.

Penulis pernah mendengar ungkapan seperti ini. “Peu berita bak koran uroe nyoe. Peu na iklan lowongan kerja”. Jika ada iklan lowongan kerja dari LSM/NGO, maka mereka akan membaca dengan teliti. Tetapi mulai pusing dan hilang harapan ketika pada kulifikasi yang jelas-jelas berbicara langsung tentang syarat mampu berbahasa Inggris secara lisan dan tulisan.

Tidak sampai di situ, syarat SI dan mampu mengoperasikan Microsoft Office adalah syarat yang membuat banyak orang di sudut Aceh yang membatalkan niatnya untuk melamar lowongan kerja tersebut. Mampu berbahasa Inggris secara lisan dan tulisan, membuat orang-orang kita kelimpungan memikirkannya.

Kita perlu bertanya, Siapa yang pantas di salahkan atas semua ini. Apakah konflik yang menjadi kamping hitam atau pemimpin masa lalu yang tidak mampu mencetak sumber daya manusia (SDM). Bisa di pastikan bahwa semua pemimpin kebelakang akan mengkambing hitamkan konflik sebagai penyebabnya. Karena konflik sangat gampang di jadikan sebagai kambinghitamnya.

Jika kemampuan SDM di negeri ini lemah, maka bagaimana kita akan mengolah sumber daya alam yang katanya melimpah di Aceh. Apakah tenaga lokal hanya menjadi buruh kasar saja atau jabatan pinggiran alias tenaga kerja pelengkap. Sedang jabatan penting di kendalikan oleh orang luar. Seharusnya kita mulai mengaca diri, karena orang Aceh menyimpan banyak potensi SDM yang di pinggirkan oleh sebuah system yang datang dari pusat pada masa lalu.

Sekali lagi mari kita bercermin tentang kemampuan kita. Kemampuan yang selama ini telah membuat kita seperti tamu di negeri sendiri sedangkan orang luar menjadi tuan di negeri kita. Kita perlu sadar sebagai sebuah bangsa yang pernah jaya di masa lalu. Jangan sampai kejayaan itu tinggal sejarah. Tapi bagaimana kita membuat sejarah baru yang lebih maju dari masa lalu.

Jika dulu orang Aceh mulai pudar dengan identitas ke-Aceh-annya, maka di bawah kepemimpinan Irwandi-Nazar adalah kesempatan untuk mengembalikan indentitas ke-Aceh-an yang hilang oleh skenario yang di rancang oleh pemerintah pusat.

Karena dengan menghilangkan identitas ke-Aceh-an yang kita miliki, otomatis nasionalisme ke-Aceh-an ikut pudar bahkan mulai menghilang dari waktu ke waktu. Padahal dengan nasionalisme ke-Aceh-an, kita menjadi singa ketika di serang oleh orang luar dan menjadi tuan di negeri sendiri. Tetapi dengan hilangnya nasionalisme ke-Aceh-an maka kita menjadi gerombolan yang oportunistik. Sangat jelas bahwa pola hidup oportunis membuat kita terasing sesama bangsa sendiri. Sehingga dengan mudah dapat di kalahkan.

BRR dan Budaya Boros

Kebertadaan Badan Rehabilitasi Rekonstrusi (BRR) Aceh-Nias adalah obat ketika luka. Akan tetapi ketika luka itu mulai sembuh maka obat akan menjadi duka apabila di biarkan terus. Kedukaan tersebut amat jelas dalam dua hal, Pertama bila obat tersebut dipakai terus oleh orang yang sama, Kedua, bila obat tersebut di jual tanpa di beritahu kepada empunya obat. Di sini selain terjadi pemborosan juga terjadi praktek penggelapan.

Dalam praktek pemborosan, jelas manfaatnya tidak ada, yang ada bahkan kerugian. Sedangkan praktek penggelapan, jelas menguntungkan si penggelap dan merugikan si pemilik yang sebenarnya.

Begitu juga dengan BRR, lembaga ini perlu di pertimbangkan keberadaannya yang telah menyerap dana triliunan rupiah. Bila angka sebanyak itu tidak menghasilkan perubahan yang signifikan dalam proses rehab-rekon Aceh. Bukankah sebaiknya di bubarkan saja sebelum April 2009, dengan menyerahkan dana tersebut kepada Pemerintah Aceh. Alasan di dirikan BRR, karena Pemerintah Aceh saat itu tidak dapat menjalankan roda pemerintahahnya secara optimal alias lumpuh.

Bila Pemerintah Aceh sudah kuat, maka keberadaan BRR pun perlu di pertanyakan alias tak perlu menunggu habis mandat. Usulan ini tidak lain adalah, untuk menyelamatkan dana (oleh berbagai pihak di anggap dana takziah untuk korban tsunami) yang menjadi milik rakyat Aceh. Alasannya amat jelas bahwa selama ini dana yang di serap oleh BRR justru lebih banyak kepada operasionalnya ketimbang rehab-rekonnya.

Padahal, struktur Pemerintah Aceh sudah sangat lengkap dan siap untuk mengelola dana tersebut. Lengkap, karena semua struktur yang perlu di rehab-rekon dapat di kelola oleh dinas-dinas terkait. Siap, karena Kepala Pemerintah Aceh sekarang adalah definitif dari hasil pilihan rakyat secara langsung. Sehingga pemerintah baru ini sudah siap untuk menjalankan roda pemerintahan berdasarkan kepentingan rakyat.

Maka alasan BRR di pertahankan sampai 2009 adalah kesalahan dan kesia-siaan. Kesalahan karena pemerintah baru sudah terbentuk dan sudah kuat. Otomatis segala tugas untuk kesejahteraan rakyat dapat di jalankan oleh pemerintah sekarang. Kesia-sian adalah keberadaan BRR telah menghabiskan banyak dana setiap tahunnya untuk menggaji orang-orang BRR. Sehingga dana sebanyak itu menjadi sia-sia untuk operasional orang-orang BRR.

Padahal jika BRR di bubarkan maka pengaruhnya pun tidak ada karena dana yang ada di BRR dapat di kelola oleh Pemerintah Aceh. Paling-paling terjadi pengangguran. Itu pun pengangguran kelas menengah atas yang selama ini rangkap jabatan. Maksudnya bila BRR di bubarkan maka pemasukan mereka dari sana terputus. Sehingga mereka di sebut pengangguran sepihak.

Sedangkan untuk masyarakat bawah, jelas tidak ada pengaruhnya sama sekali. Apalagi masyarat korban tsunami masih cemburu dan agak membenci BRR. Cemburu karena gaji BRR yang aduhai sedangkan mereka masih tinggal di barak pengungsi. membenci, karena janji yang selama ini di lontarkan oleh BRR sering tidak di penuhi sebagaimana mestinya.

Insiden pemukulan staf BRR beberapa waktu lalu adalah salah satu dari sejumlah kekecewaan terhadap BRR. Apalagi rumah yang di bangun oleh BRR, kualitasnya sangat rendah. Padahal rumah yang di bangun oleh NGO lain jauh lebih bagus kualitas dan kelengkapannya.

Untuk satu tahun kedepan, ada tiga alternatif dalam menjaga dana rehab-rekon Aceh. Pertama, BRR perlu di rombak kembali, jabatan yang selama ini hanya menghabiskan dana saja, perlu di hapuskan. Artinya perampingan di tubuh BRR perlu di lakukan secepatnya. Program kerja yang sedang dilakukan perlu di awasi secara ketat sampai ke lapangan agar tidak terjadi penyimpangan. BRR perlu menghemat dana untuk operasionalnya tetapi lebih mengalokasikannya kepada kepentingan rehab-rekon Aceh.

Kedua, Bila alternatif pertama tidak mampu di lakukan maka perlu ada tindakan penyelamatan dana “Takziah”. Cara penyelamatanya sangat jelas yaitu tindakan cepat dengan membubarkan BRR. Karena, jika di biarkan pemborosan dana “Takziah” terus terjadi, maka rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh pincang alias gagal dan mengecewakan.

Ketiga, penyelamatan aset-aset BRR sebelum diserahkan kepada Pemerintahan Aceh. Ini perlu agar tidak terjadi pencurian atau pelarian aset BRR untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Jadi dari sekarang perlu ada pendataan aset BRR, karena peluang untuk pengalihan untuk kepentingan pribadi bisa dilakukan.

Kewajiban Rehab-rekon.

Kewajiban Rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh adalah tanggung jawab BRR Aceh-Nias. Karena ini sesuai dengan tujuan di dirikan BRR. Tetapi pada dasarnya rehab-rekon adalah tanggungjawab bersama. Tetapi karena BRR sebagai lembaga yang semua uang dari luar mengalir, maka tugas rehab-rekon menjadi tanggungjawab utama BRR.

Tetapi sangat di sayangkan bila kewajiban ini gagal atau tidak memuaskan. Gagal atau tidak memuaskan merupakan kenerja yang amat buruk. Dana sebanyak itu perlu menghasikan sesuatu yang dapat di manfaatkan dan di banggakan oleh generasi selalutnya. Tetapi bila dana tersebut habis di bagi-bagi kepada jabatan ecek-ecek untuk menyelamatkan BRR dari kritikan pihak lain sungguh sangat di sayangkan.

Sehingga kewajiban rehab-rekon perlu di laksanakan dengan serius oleh BRR. Bukan memperlambatnya atau mencari keuntungan dalam rehab-rekon Aceh. Sekali lagi, masih ada korban tsunami yang belum mendapatkan rumah. Padahal mereka membutuhkan rumah. Karena korban tsunami yang berhak atas uang “Takziah” tersebut. Semoga rehab-rekon Aceh berhasil tanpa ada kebencian dan saling menyalahkan di antara kita.[]

Tidak ada komentar:

Pemain Persiraja

Pemain Persiraja
Playmaker Persiraja, Patrick Sofian Ghigani