Oleh: Alsumatrany
Memori Al Sumatrany: Pagi itu, 26 Desember
2004, Allah menuntun saya melewati lorong Pasar Aceh menuju Mesjid Raya
Baiturrahman, Banda Aceh. Tak biasanya saya keluar begitu pagi, saat
matahari pun belum jelas menampakkan sinarnya. Detik demi detik berubah
menjadi menit hingga jarum jam berganti. Saat matahari se-galah, barulah
saya sadar ketika bumi bergoncang dengan amat sangat hingga tak mampu
berdiri.
Ketika itu saya yang berstatus Mahasiswa
Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala angkatan 2003 sedang duduk di
dalam rumah Allah setelah dituntun menjauhi lautan dan mendekati Mesjid.
Goncangan yang cukup kuat di dalam Mesjid membuat saya tiba-tiba
bangkit dan keluar melalui pintu utara. Saya berlari ditengah goncangan
yang tak biasanya dan air untuk mencuci kaki di pintu Mesjid sudah
tumpah kemana-mana.
Andai besok saya disuruh lari dalam kondisi
tidak gempa dengan lantai keramik yang sedang licin, maka saya yakin
akan terpeleset dan jatuh hingga berdarah atau bisa saja patah tulang.
Tapi dengan pertolongan Allah Yang Maha Kuasa, saya berlari di tengah
goyangan dahsyat dan berhasil mencapai taman.
Saya berusaha berdiri tegak di tengah suara menakutkan akibat pecahan, kaca, keramik bangunan
di sekeliling hingga bagian dinding menara utama Mesjid berjatuhan.
Terus terang saya tidak sanggup berdiri meski sudah memegang pohon
kecil. Goncangan kuat membuat saya akhirnya harus duduk ke tanah dan
beberapa orang sekitar ada yang menangis telungkup ke tanah.
Tak lama kemudian goncangan pun berhenti dan
tangisan menyeruak dari kalangan wanita dan sebagian pria. Orang-orang
pun mulai bermunculan untuk melihat kondisi kerusakan kota. Ada
pertokoan yang berlantai tiga, hanya tersisa dua lantai. Sedangkan satu
lantai bawah sudah remuk dan digantikan lantai dua.
Diantara kerusakan yang terjadi justru Mesjid
Raya yang terlihat kokoh tanpa ada kerusakan berarti. Menara utama di
depan Mesjid hanya sebagian dinding yang jatuh ke tanah. Menara lain
hanya retak dan tak patah. Padahal bangun di sekelilingnya rusak cukup
parah.
Konon menurut cerita, ada seorang keturunan
Tionghoa bersama keluarganya lari menuju ke halaman Mesjid saat gempa
terjadi. Dia melihat Mesjid Raya dipeluk oleh orang berjubah putih saat
gempa menguncang. Orang Tionghoa itu selamat dari gempa dan tsunami
hingga akhirnya memeluk Islam bersama keluarganya setelah melihat
sendiri persitiwa itu. Itu kali pertama ia dan keluarganya masuk ke
pekarangan Mesjid. Banyak orang dari berbagai suku dan agama
menyelamatkan diri ketika gempa dan tsunami.
Setelah gempa reda, saya tak pergi jauh dari
sekeliling Mesjid. Sebagian orang ada pergi ke sana kemari dan bahkan
ada yang menuju ke pantai dengan sepeda motor atau kenderaan. Karena
pascagempa, air laut surut hingga ada ikan-ikan yang melompat-lompat
dalam lumpur.
Saat sedang asyik duduk di halaman Mesjid
membicarakan gempa dahsyat yang baru pertama kali dirasakan seumur
hidup. Tiba-tiba dari arah selatan terlihatlah kerumuman orang berlari
dalam jumlah besar sambil berteriak ‘air laut ka di ek (air laut
naik)..air laut ka di ek’. Jalan yang lebarnya lebih kurang 15 meter
penuh dengan manusia yang sedang berlari menyelamatkan diri.
Karena tak percaya air laut naik membuat saya
dan beberapa orang tak langsung berlari. Suara orang-orang disertai
dengan suara bagunan yang hancur memang terdengar beda. Tapi terlihatlah
arus hitam pekat membawa sampah kayu dan rak-rak jualan makanan bersama
arus air di jalanan. Barulah saya dan beberapa orang lain berlari ke
arah timur untuk menjauh dari air yang datang dari arah barat.
Begitu melompat pagar Mesjid Raya sebelah
utara. Saya melihat jalan yang di sisi kanan dan kiri arah barat ada
pertokoan justru menghambat laju air. Ya kesulitan menerobos akibat kayu
dan benda-benda lain termasuk mobil bahkan mungkin ada manusia. Tekanan
air yang kuat hingga memunculkan suara gemuruh menakutkan. Tapi
dibawahnya aliran air seperti mengejar orang-orang yang berlarian.
Saat berlari menuju timur dan terlihatlah air
yang setinggi lutut juga muncul dan mengalir ke barat. Kebetulan di
sebelah timur ada anak sungai yang bermuara ke sungai Aceh (Krueng Aceh)
sehingga air cepat meluap. Ketika itu saya dan orang-orang lain
langsung membayangkan kiamat telah tiba. Tak punya pilihan lain membuat
saya dan sebagian orang berlari melewati jalan ke arah timur masuk ke
markas tentara (kini Kodim 0101/BS).
Tiga truk reo yang terparkir langsung dipenuhi
orang-orang yang naik dari belakang hingga dinding samping. Saya
berkesempatan naik reo terakhir dari samping dan terus melaju ke arah
Keutapang dan Mata Ie (dataran yang tinggi) di Aceh Besar. Sedangkan dua
mobil taktis Barracuda
langsung dipenuhi orang-orang yang berebutan naik hingga sang supir tak
bisa melihat apa-apa. Entah kedua mobil itu melanjutkan perjalanan
entah tenggelam di rendam air.
Alhamdulillah saya diselamatkan oleh Allah
hingga ke Keutapang. Disanalah saya melihat orang-orang terutama
perempuan menangis dan ada yang terluka. Air sungai di dekat itu yang
biasa arusnya menuju laut, kini menekan balik. Sejumlah ikan pun mati
dan menggelepar di air yang hitam pekat dan ada sejumlah jasad manusia
yang terapung dalam arus.
Terus terang saya tak menangis ketika kejadian itu meski melihat banyak mayat tergeletak. Padahal ketika kejadian itu, saya
sedang mencari tahu keberadaan salah satu abang kandung dan orang-orang
kampung yang tinggal di Banda Aceh. Karena keluarga besar saya tinggal
di Kabupaten Pidie. Alhamdulillah keluarga saya tak menimpa tsunami
meski sempat lari karena isu air laut naik.
Tapi sekitar tujuh hari kemudian, saat saya
pulang kampung dan menonton TV. Saya baru tak mampu menahan kesedihan
hingga mata berkaca-kaca. Ya air mata mengalir dari pipi dengan
sendirinya. Padahal ketika di Banda Aceh justru melihat langsung
mayat-mayat yang tergelak tak ada yang mengurusnya.(Kisah selanjutnya
tak bisa saya janjikan//Kutaraja/Banda Aceh 25 Desember 2011).
* Penulis Berdomisili di Banda Aceh. Ini kisah pertama kali saya tulis setelah gempa dan tsunami 26 Desember 2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar