26 Desember 2011

Mesjid Raya Saat Gempa dan Tsunami

Oleh: Alsumatrany

Memori Al Sumatrany: Pagi itu, 26 Desember 2004, Allah menuntun saya melewati lorong Pasar Aceh menuju Mesjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh. Tak biasanya saya keluar begitu pagi, saat matahari pun belum jelas menampakkan sinarnya. Detik demi detik berubah menjadi menit hingga jarum jam berganti. Saat matahari se-galah, barulah saya sadar ketika bumi bergoncang dengan amat sangat hingga tak mampu berdiri.

Ketika itu saya yang berstatus Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala angkatan 2003 sedang duduk di dalam rumah Allah setelah dituntun menjauhi lautan dan mendekati Mesjid. Goncangan yang cukup kuat di dalam Mesjid membuat saya tiba-tiba bangkit dan keluar melalui pintu utara. Saya berlari ditengah goncangan yang tak biasanya dan air untuk mencuci kaki di pintu Mesjid sudah tumpah kemana-mana.

Andai besok saya disuruh lari dalam kondisi tidak gempa dengan lantai keramik yang sedang licin, maka saya yakin akan terpeleset dan jatuh hingga berdarah atau bisa saja patah tulang. Tapi dengan pertolongan Allah Yang Maha Kuasa, saya berlari di tengah goyangan dahsyat dan berhasil mencapai taman.

Saya berusaha berdiri tegak di tengah suara menakutkan akibat pecahan, kaca, keramik bangunan di sekeliling hingga bagian dinding menara utama Mesjid berjatuhan. Terus terang saya tidak sanggup berdiri meski sudah memegang pohon kecil. Goncangan kuat membuat saya akhirnya harus duduk ke tanah dan beberapa orang sekitar ada yang menangis telungkup ke tanah.

Tak lama kemudian goncangan pun berhenti dan tangisan menyeruak dari kalangan wanita dan sebagian pria. Orang-orang pun mulai bermunculan untuk melihat kondisi kerusakan kota. Ada pertokoan yang berlantai tiga, hanya tersisa dua lantai. Sedangkan satu lantai bawah sudah remuk dan digantikan lantai dua.

Diantara kerusakan yang terjadi justru Mesjid Raya yang terlihat kokoh tanpa ada kerusakan berarti. Menara utama di depan Mesjid hanya sebagian dinding yang jatuh ke tanah. Menara lain hanya retak dan tak patah. Padahal bangun di sekelilingnya rusak cukup parah.

Konon menurut cerita, ada seorang keturunan Tionghoa bersama keluarganya lari menuju ke halaman Mesjid saat gempa terjadi. Dia melihat Mesjid Raya dipeluk oleh orang berjubah putih saat gempa menguncang. Orang Tionghoa itu selamat dari gempa dan tsunami hingga akhirnya memeluk Islam bersama keluarganya setelah melihat sendiri persitiwa itu. Itu kali pertama ia dan keluarganya masuk ke pekarangan Mesjid. Banyak orang dari berbagai suku dan agama menyelamatkan diri ketika gempa dan tsunami.

Setelah gempa reda, saya tak pergi jauh dari sekeliling Mesjid. Sebagian orang ada pergi ke sana kemari dan bahkan ada yang menuju ke pantai dengan sepeda motor atau kenderaan. Karena pascagempa, air laut surut hingga ada ikan-ikan yang melompat-lompat dalam lumpur.

Saat sedang asyik duduk di halaman Mesjid membicarakan gempa dahsyat yang baru pertama kali dirasakan seumur hidup. Tiba-tiba dari arah selatan terlihatlah kerumuman orang berlari dalam jumlah besar sambil berteriak ‘air laut ka di ek (air laut naik)..air laut ka di ek’. Jalan yang lebarnya lebih kurang 15 meter penuh dengan manusia yang sedang berlari menyelamatkan diri.

Karena tak percaya air laut naik membuat saya dan beberapa orang tak langsung berlari. Suara orang-orang disertai dengan suara bagunan yang hancur memang terdengar beda. Tapi terlihatlah arus hitam pekat membawa sampah kayu dan rak-rak jualan makanan bersama arus air di jalanan. Barulah saya dan beberapa orang lain berlari ke arah timur untuk menjauh dari air yang datang dari arah barat.

Begitu melompat pagar Mesjid Raya sebelah utara. Saya melihat jalan yang di sisi kanan dan kiri arah barat ada pertokoan justru menghambat laju air. Ya kesulitan menerobos akibat kayu dan benda-benda lain termasuk mobil bahkan mungkin ada manusia. Tekanan air yang kuat hingga memunculkan suara gemuruh menakutkan. Tapi dibawahnya aliran air seperti mengejar orang-orang yang berlarian.

Saat berlari menuju timur dan terlihatlah air yang setinggi lutut juga muncul dan mengalir ke barat. Kebetulan di sebelah timur ada anak sungai yang bermuara ke sungai Aceh (Krueng Aceh) sehingga air cepat meluap. Ketika itu saya dan orang-orang lain langsung membayangkan kiamat telah tiba. Tak punya pilihan lain membuat saya dan sebagian orang berlari melewati jalan ke arah timur masuk ke markas tentara (kini Kodim 0101/BS).

Tiga truk reo yang terparkir langsung dipenuhi orang-orang yang naik dari belakang hingga dinding samping. Saya berkesempatan naik reo terakhir dari samping dan terus melaju ke arah Keutapang dan Mata Ie (dataran yang tinggi) di Aceh Besar. Sedangkan dua mobil taktis Barracuda langsung dipenuhi orang-orang yang berebutan naik hingga sang supir tak bisa melihat apa-apa. Entah kedua mobil itu melanjutkan perjalanan entah tenggelam di rendam air.

Alhamdulillah saya diselamatkan oleh Allah hingga ke Keutapang. Disanalah saya melihat orang-orang terutama perempuan menangis dan ada yang terluka. Air sungai di dekat itu yang biasa arusnya menuju laut, kini menekan balik. Sejumlah ikan pun mati dan menggelepar di air yang hitam pekat dan ada sejumlah jasad manusia yang terapung dalam arus.

Terus terang saya tak menangis ketika kejadian itu meski melihat banyak mayat tergeletak. Padahal ketika kejadian itu, saya sedang mencari tahu keberadaan salah satu abang kandung dan orang-orang kampung yang tinggal di Banda Aceh. Karena keluarga besar saya tinggal di Kabupaten Pidie. Alhamdulillah keluarga saya tak menimpa tsunami meski sempat lari karena isu air laut naik.

Tapi sekitar tujuh hari kemudian, saat saya pulang kampung dan menonton TV. Saya baru tak mampu menahan kesedihan hingga mata berkaca-kaca. Ya air mata mengalir dari pipi dengan sendirinya. Padahal ketika di Banda Aceh justru melihat langsung mayat-mayat yang tergelak tak ada yang mengurusnya.(Kisah selanjutnya tak bisa saya janjikan//Kutaraja/Banda Aceh 25 Desember 2011).

* Penulis Berdomisili di Banda Aceh. Ini kisah pertama kali saya tulis setelah gempa dan tsunami 26 Desember 2004.

Tidak ada komentar:

Pemain Persiraja

Pemain Persiraja
Playmaker Persiraja, Patrick Sofian Ghigani